Jangan lupa membagikan artikel ini setelah membacanya
Banyak
yang mengaku Islam di KTP, senang melakukan puasa Ramadhan bahkan ada yang
sudah berhaji, namun untuk masalah yang satu ini sulit diperhatikan, yaitu
shalat. Kadang ditinggalkan dan shalatnya pun bolong-bolong. Yang lebih parah
lagi, ada yang mengaku Islam di KTP, namun tidak pernah shalat sama sekali.
Kami teringat dengan perkataan khalifah Umar bin
Khottob, “Laa islama liman tarokash sholaah” [Tidak disebut
muslim bagi orang yang meninggalkan shalat]. Ini beliau katakan di
akhir-akhir hidup beliau di hadapan para sahabat dan tidak ada satu orang
sahabat pun yang mengingkarinya. Sampai-sampai para ulama katakan bahwa para
sahabat sepakat akan kafirnya orang yang meninggalkan shalat karena
malas-malasan meskipun meyakini wajibnya.
Hal ini pun dikuatkan dengan berbagai dalil yang menyatakan
kafirnya orang yang meninggalkan shalat, di antaranya hadits, “Perjanjian
antara kami dan mereka (orang kafir) adalah mengenai shalat, barangsiapa
meninggalkannya maka dia kafir.” (HR. Ahmad, Abu Daud, At
Tirmidzi, An Nasa’i, Ibnu Majah dengan sanad yang shahih dari Buraidah Al
Aslami)
Tulisan kali ini hanyalah ingin memperkuat artikel lama yang
telah dipublish di rumaysho.com yaitu mengenai masalah hukum orang yang
meninggalkan shalat karena malas-malasan. Dalil perincian dan berbagai kasus
orang meninggalkan shalat telah dibahas dalam artikel “Dosa
Meninggalkan Shalat Lebih Besar dari Dosa Berzina”. Jadi kami harap bisa
merujuk pada artikel tersebut terlebih dahulu.
Sebagaimana yang kami sebutkan dalam tulisan tersebut, Imam
Malik, Imam Syafi’i, dan Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa meninggalkan shalat
dengan sengaja tidaklah kafir –selama meyakini shalat itu wajib-. Pendapat ini
diikuti pula oleh ulama-ulama belakangan seperti Syaikh Al Albani rahimahullah sebagaimana
dalam risalah beliau Hukmu Tarikish Sholah.
Berikut kami akan membawakan sebagian alasan ulama yang
tidak mengkafirkan orang yang meninggalkan shalat dengan sengaja serta
sanggahan untuk pendapat tersebut. Penjelasan berikut kami sarikan dari
penjelasan Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin rahimahullah dalam
risalah beliau berjudul ‘Hukmu Tarikish Sholah’, juga kami tambahkan
dari penjelasan Syaikh ‘Amru bin ‘Abdul Mun’im Salim hafizhohullah dalam
‘Al Manhaj As Salafi ‘inda Asy Syaikh Nashiruddin Al Albani’.
Sanggahan Pertama
Bagaimana jika ada yang berpendapat bahwa nash-nash
(dalil-dalil) yang menyatakan kafirnya orang yang meninggalkan shalat yang
dimaksudkan adalah kafir karena mengingkari kewajibannya?
Jawabannya :
Hal ini tidak diperbolehkan karena ada dua bahaya yaitu :
Pertama. Ini berarti telah menihilkan sifat dan
hukum yang telah dikatakan oleh syari’at. Syari’at ini telah mengaitkan hukum
kufur karena meninggalkan shalat dan bukan karena mengingkari kewajibannya.
Syari’at ini juga telah mengaitkan adanya hubungan ukhuwah (persaudaraan)
karena mengerjakan shalat dan bukanlah karena cuma sekedar meyakini
kewajibannya. Allah tidaklah berfirman (sebagaimana pendalilan
dalam At Taubah ayat 11 di atas), ”Jika mereka bertaubat, meyakini
wajibnya sholat dan menunaikan zakat, maka (mereka itu) adalah
saudara-saudaramu seagama.” Juga Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah bersabda,
“(Pembatas) antara seorang muslim dan kesyirikan serta kekafiran
adalah mengingkari wajibnya shalat.” Seandainya yang demikian
yang dimaksudkan oleh Allah dan Rasul-Nya maka tentu saja akan dijelaskan. Maka
mengatakan bahwa yang dimaksudkan adalah mengingkari wajibnya shalat berarti
telah menyelisihi dalil yang ada. AllahTa’ala berfirman,
وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ تِبْيَانًا
لِكُلِّ شَيْءٍ
“Dan Kami turunkan kepadamu Al Kitab (Al Qur'an) untuk
menjelaskan segala sesuatu” (QS. An Nahl [16] : 89)
Kedua. Ini bearti telah mengaitkan sesuatu yang
tidak dianggap oleh syari’at sebagai hukum. Jika seseorang mengingkari wajibnya
shalat lima waktu maka dia telah kafir dengan sendirinya tanpa ada alasan jahil
(bodoh), baik dia mengerjakan shalat ataupun tidak. Misalnya ada seseorang
mengerjakan shalat lima waktu dengan memenuhi syarat, rukun dan wajib shalat
bahkan disempurnakan dengan sunnah-sunnah shalat, akan tetapi dia mengingkari
wajibnya shalat tanpa ada udzur (alasan), maka orang seperti ini tetaplah kafir
walaupun dia tidak meninggalkan shalat.
Dari dua bahaya di atas, maka telah jelas pendapat yang
menyatakan bahwa yang dimaksudkan dengan meninggalkan shalat yaitu meninggalkan
kewajibannya adalah pendapat yang keliru.
Sanggahan Kedua
Bagaimana jika ada yang berpendapat bahwa yang dimaksudkan
dengan kufur meninggalkan shalat pada dalil-dalil yang ada adalah kufur
nikmat dan bukan kufur akbar (yang mengeluarkan seseorang dari Islam),
sebagaimana terdapat dalam hadits :
اثْنَتَانِ فِى النَّاسِ هُمَا بِهِمْ كُفْرٌ
الطَّعْنُ فِى النَّسَبِ وَالنِّيَاحَةُ عَلَى الْمَيِّتِ
“Dua perkara yang termasuk kekufuran adalah mencela nasab
(keturunan) dan meratapi mayit.” (HR. Muslim no. 236)
Atau pada sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam,
سِبَابُ الْمُسْلِمِ فُسُوقٌ وَقِتَالُهُ كُفْرٌ
”Mencela muslim adalah suatu kefasikan sedangkan
memerangi sesame muslim adalah kekufuran.” (HR. Tirmidzi no. 2846. Dikatakan shohih oleh
Syaikh Al Albani. Lihat Shohih wa Dho’if Sunan At Tirmidzi)
Jawabannya :
Maksud dan pemahaman seperti ini tidaklah benar ditinjau
dari beberapa sisi :
Pertama. Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam telah menjadikan shalat sebagai pembatas (pembeda) antara
keimanan dan kekafiran atau antara mukmin dan kafir. Namanya pembatas pasti
akan membedakan antara yang dibatasi dan akan mengeluarkannya dari yang
lainnya. Salah satu dari dua hal yang dibatasi ini tidaklah masuk pada yang
lain.
Kedua. Shalat merupakan salah satu rukun Islam.
Shalat disifati dengan kufur maka ini berarti kufur yang dimaksudkan adalah
kufur yang menyebabkan keluar dari Islam karena orang yang melakukan hal ini
berarti telah menghancurkan salah satu rukun Islam. Dan ini berbeda dengan kata
kufur yang dimutlakkan bagi orang yang melakukan perbuatan orang kafir.
Ketiga. Ada dalil lain yang menunjukkan bahwa
kufur meninggalkan shalat adalah kufur yang mengeluarkan dari Islam (seperti
yang terdapat dalam hadits penguasa yang disebutkan di atas).
Keempat. Perlu diperhatikan bahwa penyebutan
kata kufur dalam hadits itu berbeda-beda. Misalnya tentang meninggalkan shalat
dikatakan,
بَيْنَ الرَّجُلِ وَبَيْنَ الشِّرْكِ وَالْكُفْرِ
Kata kufur di sini menggunakan alif lam. Dan ini menunjukkan
bahwa yang dimaksudkan adalah kufur hakiki (yang sebenarnya) yaitu kufur yang
menyebabkan keluar dari Islam. Ini berbeda jika kata kufur itu menggunakan
bentuk nakiroh (tanpa alif lam) atau kufur dengan menggunakan
lafazh fi’il (kata kerja). Jika menggunakan kedua lafazh ini,
biasa yang dimaksudkan adalah bukan kufur yang mengeluarkan dari Islam.
Kelima. Kaedah penting yang perlu diperhatikan
sebagaimana dibawakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dalam Al Iqtidho’ dan
juga Ibnul Qoyyim dalam kitab Ash Sholah:
“Tidaklah semua yang melakukan salah satu cabang kekufuran
adalah kafir mutlak sampai dia mengerjakan hakekat kekufuran. Begitu pula,
tidaklah semua yang melakukan salah satu cabang keimanan dikatakan beriman
sampai melakukan pokok dan hakekat keimanan.”
Jadi orang yang mencela nasab, meratapi mayit atau mencela
muslim berarti telah melakukan bentuk kekufuran. Namun, kekafiran di sini
tidaklah mengeluarkan dari Islam karena adanya dalil yang lain. Ini berbeda
dengan orang yang meninggalkan shalat. Dia telah melakukan hakekat kekufuran
sehingga dapat dihukumi keluar dari Islam.
Sanggahan Ketiga
Para ulama yang mengatakan bahwa meninggalkan shalat dengan
sengaja tidaklah kafir biasanya berdalil dengan firman AllahTa’ala,
إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ
وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاء
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik,
dan Dia mengampuni segala dosa yang berada di bawah syirik, bagi siapa yang
dikehendaki-Nya.” (QS. An Nisa’ [4] : 48)
Jawabannya :
Sanggahan dari pendapat ini adalah bahwa kalimat ‘maa
duna dzalika’ dalam ayat tersebut yang paling tepat bermakna ‘dosa yang
berada di bawah kesyirikan’ dan bukanlah ‘dosa yang selain syirik’. Kenapa
demikian?
Ingatlah ada juga dosa yang tidak diampuni namun dia
bukanlah syirik. Seperti mendustakan Allah dan Rasul-Nya adalah termasuk dosa
yang tidak akan diampuni, padahal perbuatan semacam ini tidak termasuk
kesyirikan. Jadi, apabila ‘maa duna dzalika’ pada ayat tersebut bermakna
‘dosa selain syirik’ maka perbuatan mendustakan Allah dan Rasul-Nya akan
termasuk dosa yang mungkin diampuni, namun ini jelas keliru.
Namun, jika kita tetap menerima bahwa yang dimaksudkan
dengan ‘maa duna dzalika’ dalam ayat ini bermakna ‘dosa selain syirik’,
maka ini adalah lafazh khusus tetapi tercakup di dalamnya kekufuran, sehingga
dapat diartikan ‘maa duna dzalika’ adalah ‘dosa selain syirik dan selain
kekufuran yang mengeluarkan dari Islam dan tidak diampuni walaupun tidak
termasuk kesyirikan’. Kesimpulannya, ayat ini bukanlah dalil yang menunjukkan
bahwa meninggalkan shalat itu tidaklah kafir.
Bahkan meninggalkan shalat telah Nabi namakan dengan
kesyirikan. Cermati hadits-hadits yang menyatakan meninggalkan shalat termasuk
kesyirikan.
بَيْنَ العَبْدِ وَبَيْنَ الكُفْرِ وَالإِيْمَانِ
الصَّلَاةُ فَإِذَا تَرَكَهَا فَقَدْ أَشْرَكَ
“Pemisah Antara seorang hamba dengan kekufuran dan
keimanan adalah shalat. Apabila dia meninggalkannya, maka dia melakukan
kesyirikan.” (HR. Ath Thobariy dengan sanad shohih. Syaikh Al
Albani mengatakan hadits ini shohih. Lihat Shohih At Targib
wa At Tarhib no. 566)
Jadi berdalil dengan ayat An Nisa’ ayat 48 sangatlah tidak
tepat dalam masalah ini.
Sanggahan Keempat
Ada juga ulama yang berdalil tentang tidak kafirnya orang
yang meninggalkan shalat dengan sengaja dengan dalil umum seperti hadits Mu’adz
bin Jabal,
مَا مِنْ عَبْدٍ يَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ
اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ إِلاَّ حَرَّمَهُ اللَّهُ عَلَى
النَّارِ
“Tidaklah seorang hamba bersaksi bahwa tidak ada
sesembahan yang berhak untuk disembah kecuali Allah; dan Muhammad adalah hamba
dan rasul-Nya, kecuali Allah mengharamkan neraka baginya.” (HR. Muslim no.
157)
Jawabannya :
Sebagai sanggahan, hadits umum di atas telah dikhususkan
dengan hadits-hadits yang menyatakan kufurnya orang yang meninggalkan shalat .
الْعَهْدُ الَّذِى بَيْنَنَا وَبَيْنَهُمُ
الصَّلاَةُ فَمَنْ تَرَكَهَا فَقَدْ كَفَرَ
“Perjanjian antara kami dan mereka (orang kafir) adalah
shalat. Barangsiapa meninggalkannya maka dia telah kafir.” (HR. Ahmad,
Tirmidzi, An Nasa’i, Ibnu Majah. Dikatakan shohih oleh Syaikh
Al Albani. Lihat Misykatul Mashobih no. 574)
Bahkan orang yang benar-benar bersyahadat sangat tidak
mungkin jika tidak mengerjakan shalat. Ada hubungan yang sangat erat antara
syahadat dan amal.
Sanggahan Kelima
Para ulama yang tidak mengkafirkan orang yang meninggalkan
shalat juga berdalil dengan hadits umum seperti,
فَإِنَّ اللَّهَ حَرَّمَ عَلَى النَّارِ مَنْ
قَالَ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ . يَبْتَغِى بِذَلِكَ وَجْهَ اللَّهِ
“Sesungguhnya Allah mengharamkan neraka bagi orang yang
mengucapkan kalimat ‘laa ilaha illallah’ [tidak ada sesembahan yang berhak
disembah kecuali Allah] dengan mengharap wajah Allah.” (HR. Bukhari no.
5401)
Jawabannya :
Hal ini juga bisa disanggah dengan mengatakan bahwa
bagaimana mungkin orang yang mengucapkan kalimat ‘laa ilaha illallah’
seperti ini bisa meninggalkan shalat, ini sungguh tidak mungkin. Kalau
seseorang mengucapkan ‘laa ilaha illallah’ ikhlas dan jujur dalam
hatinya pasti dia akan mengerjakan shalat dan tidak mungkin meninggalkannya.
Shalat adalah tiang agama ini. Dan shalat adalah penghubung antara hamba dan
Rabbnya. Kalau seseorang mengucapkan ‘laa ilaha illallah’ dengan jujur
demi mengharap wajah Allah, maka tentu saja dia akan melakukan sesuatu yang
akan mengantarkan pada yang demikian dan menjauhi perkara yang akan
menghalanginya. Jadi, shalat merupakan konsekuensi dari syahadat seorang
muslim.
Sanggahan Keenam
Ulama yang tidak mengkafirkan shalat juga berdalil dengan
hadits dari Hudzaifah bin Al Yaman. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,
«
يَدْرُسُ الإِسْلاَمُ كَمَا يَدْرُسُ وَشْىُ الثَّوْبِ حَتَّى لاَ يُدْرَى مَا
صِيَامٌ وَلاَ صَلاَةٌ وَلاَ نُسُكٌ وَلاَ صَدَقَةٌ وَلَيُسْرَى عَلَى كِتَابِ
اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ فِى
لَيْلَةٍ فَلاَ يَبْقَى فِى الأَرْضِ مِنْهُ آيَةٌ
وَتَبْقَى طَوَائِفُ مِنَ النَّاسِ الشَّيْخُ الْكَبِيرُ وَالْعَجُوزُ يَقُولُونَ
أَدْرَكْنَا آبَاءَنَا عَلَى هَذِهِ الْكَلِمَةِ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ
فَنَحْنُ
نَقُولُهَا ». فَقَالَ لَهُ صِلَةُ مَا تُغْنِى عَنْهُمْ لاَ إِلَهَ
إِلاَّ اللَّهُ وَهُمْ لاَ يَدْرُونَ مَا صَلاَةٌ وَلاَ صِيَامٌ وَلاَ نُسُكٌ
وَلاَ صَدَقَةٌ فَأَعْرَضَ عَنْهُ حُذَيْفَةُ ثُمَّ رَدَّهَا
عَلَيْهِ ثَلاَثًا
كُلَّ ذَلِكَ يُعْرِضُ عَنْهُ حُذَيْفَةُ ثُمَّ أَقْبَلَ عَلَيْهِ فِى
الثَّالِثَةِ فَقَالَ يَا صِلَةُ تُنْجِيهِمْ مِنَ النَّارِ. ثَلاَثًا.
“Islam akan hilang sebagaimana hilangnya motif pakaian
sehingga tidak diketahui apa itu puasa, apa itu shalat, apa itu nusuk
(sembelihan), dan apa itu zakat. Kitabullah akan diangkat pada suatu malam.
Lalu tidaklah tersisa di dunia satupun ayat dari kitabullah. Kemudian akan
tersisa sekelompok manusia yang terdiri dari pria dan wanita yang tua renta.
Mereka mengatakan, ’Kami mendapati nenek moyang kami mengucapkan kalimat
‘lailaha illallah’, lalu kami ikut mengatakan kalimat tersebut.” Lalu Shilah
(seorang tabi’in senior) mengatakan kepada Hudzaifah, “Tidak bermanfaat bagi
mereka kalimat ‘laa ilaha illallah’ sedangkan mereka dalam keadaan
tidak mengetahui shalat, puasa, nusuk (menyembelih) dan zakat.” Kemudian
Hudzaifah berpaling darinya. Shilah mengulangi perkataannya sampai tiga kali.
Namun hanya direspon oleh Hudzaifah dengan berpaling. Setelah ketiga kalinya,
Hudzaifah menghadap Shilah seraya mengatakan,”Wahai Shilah, la ilaha
illalloh itu menyelamatkan neraka dari neraka. (disebut 3x).” (HR.
Ibnu Majah no. 4185)
Jawabannya :
Sebagai sanggahan, hukum yang nampak dari hadits ini adalah
khusus untuk orang yang tidak mengetahui hukum shalat, puasa, nusuk
(sembelihan) dan zakat. Inilah yang nampak dari hadits di atas : ‘sehingga
tidak diketahui apa itu puasa, apa itu shalat, apa itu nusuk (sembelihan), dan
apa itu zakat’.
Ini berarti dengan tersebarnya kejahilan tentang hukum
shalat, puasa, nusuk, dan zakat, maka pantas bagi mereka selamat dari neraka
disebabkan kalimat tauhid (laa ilaha illallah) yang dimiliki.
Orang-orang yang keadaannya seperti ini adalah orang yang meninggal setelah
bersyahadatain dan belum mengerajakan syari’at Islam, juga termasuk orang baru
masuk Islam di negeri kufur dan belum mengetahui ilmu-ilmu syari’at.
Sanggahan Ketujuh
Ulama yang tidak menyatakan kafir juga berdalil dengan
hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berikut.
خَمْسُ صَلَوَاتٍ كَتَبَهُنَّ اللَّهُ عَزَّ
وَجَلَّ عَلَى الْعِبَادِ فَمَنْ جَاءَ بِهِنَّ لَمْ يُضَيِّعْ مِنْهُنَّ شَيْئًا
اسْتِخْفَافًا بِحَقِّهِنَّ كَانَ لَهُ عِنْدَ اللَّهِ عَهْدٌ أَنْ يُدْخِلَهُ
الْجَنَّةَ
وَمَنْ لَمْ يَأْتِ بِهِنَّ فَلَيْسَ لَهُ عِنْدَ اللَّهِ عَهْدٌ إِنْ
شَاءَ عَذَّبَهُ وَإِنْ شَاءَ أَدْخَلَهُ الْجَنَّةَ
“Shalat lima waktu telah Allah ‘Azza wa Jalla wajibkan
bagi hamba-Nya. Barangsiapa mengerjakannya, tidak mengabaikannya sedikitpun dan
tidak pula meremehkan haknya ini, maka Allah berjanji akan memasukkannya
dalam surga. Dan barangsiapa tidak melaksanakannya, maka Allah tidak memiliki
janji. Jika Allah menghendaki, Dia akan mengadzabnya dan jika Dia menghendaki,
dia akan memasukkannya dalam surga.”
Jawabannya :
Hadits dengan lafadz seperti ini telah dikeluarkan oleh Imam
Malik dalam Al Muwatho’ : Dari Malik, dari Yahya bin Sa’id,
dari Muhammad bin Yahya bin Hibban, dari Ibnu Muhairiz, (beliau berkata) bahwa
seseorang dari Bani Kinanah yang dipanggil dengan Al Mukhdajiy mendengar
seorang laki-laki di Syam yang berkunyah Abu Muhammad berkata, “Sesungguhnya
shalat witir itu wajib.” Al Mukhdajiy berkata, “Lalu aku mendatangi
Ubadah bin Ash Shomit dan mencegahnya padahal dia hendak ke masjid. Kemudian
aku mengatakan apa yang dikatakan oleh Abu Muhammad.” ‘Ubadah berkata,
”Abu Muhammad telah berdusta. Aku mendengar Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,’…’ Lalu beliau
menyebutkan hadits di atas.
Jalur periwayatan ini juga dikeluarkan oleh Abu Daud dan An
Nasa’i. Ibnu Majah juga mengeluarkan hadits ini tetapi melalui jalur ‘Abdu
Robbah bin Sa’id, dari Muhammad bin Yahya bin Hibban. Juga diriwayatkan dari
Ahmad dari jalur Muhammad bin Yahya.
Periwayat-periwayat hadits ini tsiqoh (terpercaya)
kecuali Al Mukhdajiy yang kunyahnya adalah Abu Rofii’.
Al Hafizh Ibnu Hajar dalam At Taqrib mengatakan bahwa
dia shoduq (jujur yaitu tingkat penilaian positif di
bawah tsiqoh). Al Hafizh Adz Dzahabi menilai bahwa dia wutstsiqo (dianggap tsiqoh).
Namun, tidak ada yang menyatakan bahwa Al Mukhdajiytsiqoh (terpercaya)
kecuali Ibnu Hibban. Padahal Ibnu Hibban dinilai bermudah-mudahan dalam memberi
nilai tsiqoh(terpercaya) pada seorang perowi.
Syaikh Al Albani rahimahullah mengatakan
bahwa hadits ini shohih sebagaimana disebutkan dalam Shohih
At Targib wa At Tarhib. Namun, Syaikh Al Albani menilai hadits ini
shohih berdasarkan jalur lainnya. Beliau rahimahullah mengatakan
dalamTakhrij As Sunnah libni Abi ‘Aashim bahwa hadits ini shohih,
namun sanadnya dho’if (lemah). Periwayat-periwayatnya tsiqohkecuali
Abu Rofii’ atau ada juga yang menyebut Rofii’ Al Mukhdajiy. Dia termasuk perowi
yang majhul (tidak diketahui), tidak ada yang mengatakan tsiqoh kecuali
Ibnu Hibban. Namun, dia tidak bersendirian sebagaimana Syaikh rahimahullahmengomentarinya
dalam Shohih Sunan Abu Daud.
Syaikh Syu’aib Al Arnauth hafizhohulloh ketika
mengomentari hadits ini dalam Musnad Imam Ahmad bin Hambal, beliau mengatakan
bahwa hadits ini shohih, sanadnya adalah periwayat terpercaya (tsiqoh)
yaitu periwayat-periwayat Bukhari-Muslim kecuali Al Mukhdajiy.
Namun, ada hadits shohih lain yang mirip dengan hadits ini
yang dikeluarkan oleh Abu Daud. Jalurnya adalah dari Zaid bin Aslam, dari
‘Atho’ bin Yasar, dari Abdullah bin Ash Shunabihiy. Dia berkata, “Abu
Muhammad mengatakan bahwa shalat witir itu wajib.” Lalu ‘Ubadah bin Ash
Shomit berkata, ”Abu Muhammad dusta. Aku menyaksikan sendiri bahwa
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
خَمْسُ صَلَوَاتٍ افْتَرَضَهُنَّ اللَّهُ
تَعَالَى مَنْ أَحْسَنَ وُضُوءَهُنَّ وَصَلاَّهُنَّ لِوَقْتِهِنَّ وَأَتَمَّ
رُكُوعَهُنَّ وَخُشُوعَهُنَّ كَانَ لَهُ عَلَى اللَّهِ عَهْدٌ أَنْ يَغْفِرَ لَهُ
وَمَنْ لَمْ يَفْعَلْ فَلَيْسَ لَهُ عَلَى اللَّهِ عَهْدٌ إِنْ شَاءَ غَفَرَ لَهُ
وَإِنْ شَاءَ عَذَّبَهُ
“Shalat lima waktu telah Allah ‘Ta’ala wajibkan bagi
hamba-Nya. Barangsiapa memperbagus wudhunya, mengerjakan shalat di waktunya,
menyempurnakan wudhunya, dan khusyu’ ketika mengerjakannya, maka Allah
berjanji akan mengampuninya. Dan barangsiapa tidak mengerjakannya, maka
Allah tidak memiliki janji. Jika Allah menghendaki, Dia akan mengampuninya dan
jika Dia menghendaki, Dia akan mengadzabnya.”
Sanad riwayat ini adalah shohih, terlepas apakah
Ash Shunabihiy sahabat ataukah bukan, ataukah nama sebenarnya Abu Abdillah Ash
Shunabahiy atau Abdurrahman bin ‘Asilah. Ringkasnya, perselisihan ini semua
tidaklah mempengaruhi keshohihan hadits ini.
Perhatikanlah dalam hadits kedua ini ada perbedaan dengan
riwayat dari jalur Al Mukhdajiy. Dalam lafazh hadits dari jalur Al Mukhdajiy
terlihat bahwa orang yang meninggalkan shalat masih berada di bawah masyi’atillah (kehedak
Allah). Inilah yang nampak secara tekstual dari perkataan (وَمَنْ لَمْ يَأْتِ بِهِنَّ) [‘Dan
barangsiapa tidak melaksanakannya’].
Hal ini berbeda dengan lafazh kedua yang shohih secara
sanad. Dalam hadits kedua ini digunakan lafazh (وَمَنْ لَمْ
يَفْعَلْ) [‘Dan
barangsiapa tidak mengerjakannya’] dan yang dimaksudkan adalah tidak
memperbagus wudhu, tidak shalat di waktunya, dan tidak menyempurnakan ruku’ dan
tidak khusyu’. Dan lafazh ini bukan maksudnya adalah meninggalkan shalat secara
keseluruhan. Inilah yang dinukil dari Ibnu Abdil Barr rahimahullah dalam At
Tamhiid dari pendapat beberapa ulama.
Maka dengan demikian telah jelaslah bahwa hadits pertama
(dari Al Mukhdajiy) dan hadits kedua (dari Ash Shunabihiy) tidak bisa menjadi
dalil bahwa orang yang meninggalkan shalat dengan sengaja tidaklah kafir
sebagaimana pendapat ini dipilih oleh Syaikh Al Albani dan As Sakhowiy –semoga
Allah merahmati mereka berdua-. (Pembahasan dalam sanggahan ini kami nukil dari
dalam ‘Manhajus Salaf ‘inda Syaikh Nashiruddin Al Albani’)
Kesimpulan
Kesimpulannya bahwa dalil-dalil yang digunakan oleh ulama
yang tidak mengkafirkan orang yang meninggalkan shalat dengan sengaja tidak
keluar dari 4 hal :
- Dalil
yang digunakan tidak menunjukkan sama sekali bahwa orang yang meninggalkan
shalat tidaklah kafir.
- Dalil
yang digunakan adalah dalil umum dan dikhususkan dengan dalil-dalil yang
menyatakan bahwa orang yang meninggalkan shalat adalah kafir.
- Dalil
yang digunakan adalah dalil muthlaq yang perlu dibawa
ke dalil muqoyyad atau dalil yang digunakan harus selalu
dikaitkan dengan orang yang tidak meninggalkan shalat.
- Dalil
yang digunakan adalah untuk orang yang mendapat udzur (alasan)
meninggalkan shalat karena tidak mengetahui hukum wajibnya shalat 5 waktu
atau tidak adanya waktu untuk menunaikan shalat seperti baru masuk Islam
dan langsung meninggal dunia.
Inilah kesimpulan Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin
dalam risalah beliau Hukmu Tarish Sholah.
Kami tutup dengan nasehat khulafaur rosyidin, Umar bin Al
Khoththob –radhiyallahu ‘anhu-. Beliau berkata,
“Sesungguhnya di antara perkara terpenting bagi kalian
adalah shalat. Barangsiapa menjaga shalat, berarti dia telah menjaga agama.
Barangsiapa yang menyia-nyiakannya, maka untuk amalan lainnya akan lebih
disia-siakan lagi. Tidak ada bagian dalam Islam, bagi orang yang meninggalkan
shalat.“
Ya Allah, karuniakanlah kepada kami taufik untuk selalu
melakukan ketaatan pada-Mu.
Sumber: rumaysho
0 komentar:
Posting Komentar